Senin, 23 November 2009 - 15:23 wib
Koran SI - Koran SI
(Ilustrasi: promotheus.net.au)
Situs jejaring sosial seperti Friendster, Facebook, Twitter, Netlog mewabah dalam beberapa tahun belakangan ini dan mengiringi apa yang dikenal umum sebagai globalisasi.
Ia mengubah pola hubungan sosial, baik vertikal (masyarakat dengan negara dan pasar/market) maupun horisontal (antaranggota masyarakat, kelompok sosial). Dengan kecanggihan teknologi dan aneka fasilitas yang ditawarkannya, ia membuat dunia seolah-olah mengecil sekaligus menarik.
Dampak dari perubahan pola hubungan sosial tersebut bermacam-macam. Ia bisa bergerak ke segala arah, bahkan sering tak terbayangkan sebelumnya, baik dalam pengertian positif maupun negatif. Dengan kata lain, dunia menarik yang berada dalam genggaman jari-jemari kita itu ternyata penuh risiko. Namun, ini pulalah mungkin yang membuat banyak orang kecanduan situs jejaring sosial.
Dunia dalam Genggaman
Kecanggihan teknologi yang melekat dalam berbagai situs jejaring sosial membuat hubungan sosial tak lagi terikat oleh jarak. Kita bisa berkomunikasi dengan kawan-kawan di luar negeri pada waktu yang nyata (real time), sama seperti kita sedang bercakapcakap dengan tetangga sebelah rumah atau istri di tempat tidur.
Pada titik tertentu, situs jejaring sosial juga "tak terikat pada waktu". Ia sanggup menghadirkan masa lalu kita melalui pertemuan kembali dengan kawan-kawan semasa kecil yang puluhan tahun tak jumpa, entah ada di mana, lalu tiba-tiba hadir di depan layar komputer dalam bentuknya yang "nyata" (foto, tulisan, ucapannya yang khas, dan sebagainya).
Dalam berbagai kasus, hubungan-hubungan sosial dalam situs jejaring sosial dapat membentuk semacam komunitas, dengan level hubungan yang intensif (personal, politis, ideologis), kode-kode kultural yang hanya dipahami anggota situs, keprihatinan yang sama, adanya kenyamanan, kehangatan, perlindungan, pemberian informasi spesifik, dan seterusnya.
Singkatnya, situs jejaring sosial membuat dunia seolah berada dalam genggaman, menarik, dan mempermudah hidup. Kadangkala, hubungan-hubungan sosial dalam situs jejaring sosial jauh lebih luas dan lebih menarik daripada hubungan-hubungan sosial dalam dunia nyata. Itulah kiranya sisi positif, jika boleh dikatakan demikian, dari penggunaan situs jejaring sosial dalam hubungan-hubungan sosial.
Dunia Penuh Risiko
Namun, keterlibatan secara intensif (kecanduan) dalam situs jejaring sosial bisa menimbulkan risiko tersendiri pada kehidupan nyata sehari-hari. Jika kita setiap saat asyik dengan situs jejaring sosial, pada saat itulah hubungan-hubungan sosial kita yang nyata dengan tetangga, keluarga, warga se-RT mulai dipertanyakan. Ia bisa memunculkan semacam paradoks: hubungan sosial yang luas di dunia maya, tetapi hubungan sosial di dunia nyata terbatas.
Risikonya, kita akan menjadi orang yang terasing (teralienasi) di tengah kehidupan sosial sehari-hari yang nyata dengan segala problematikanya, mulai dari tetangga sakit yang tak punya uang untuk berobat, anak yang kesulitan belajar di sekolah hingga istri yang tertekan karena suami lebih nyaman bercakap-cakap dengan orang lain di dunia maya. Pada akhirnya, ia berpotensi untuk menjadi sumber konflik dalam kehidupan nyata dengan tetangga, keluarga, dan sebagainya.
Ada kecenderungan bahwa yang ditampilkan dalam situs jejaring sosial, entah itu foto, gambar, tulisan, kata-kata, adalah sesuatu yang diharapkan bisa memunculkan respons positif dari pengguna situs lainnya. Hal itu bisa berarti citra diri yang baik, cantik, putih, lucu, spontan, pintar, humoris, hebat, penuh perhatian, membuat orang lain penasaran, dan seterusnya.
Jadi, yang ditampilkan bukanlah potret diri yang sesungguhnya. Hal ini dapat dipahami karena citra diri itulah yang akan membuat orang lain membuka akses bagi kita untuk menjadi kawan. Kita pun akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain yang ingin menjadi kawan. Kecuali sudah lama kenal, tak ada mekanisme untuk mengecek kebenaran citra diri tersebut. Satu-satunya cara adalah dengan bertemu langsung ("kopi darat" istilah jadulnya).
Pada titik inilah ada kemungkinan kita menyadari telah tertipu atau menipu karena citra diri yang ditampilkan dalam situs jejaring sosial tidak sesuai dengan aslinya. Secara psikologis, hal itu tentu saja tidak mendewasakan karena tidak mendidik orang untuk menampilkan diri apa adanya dan menerima apa adanya pula. Situs jejaring sosial, bagaimanapun, bersifat maya.
Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk pun tidak nyata. Karenanya, tak ada jaminan apakah yang ditampilkan dalam dunia maya itu akan diwujudkan pula secara konsisten dalam kehidupan nyata atau malah sebaliknya. Kita bisa ambil contoh kasus Bibit-Chandra. Dukungan dalam Facebook terhadap Bibit-Chandra lebih dari 1 juta orang. Namun, ketika melakukan demonstrasi (yang nyata), Facebookers yang datang hanya ribuan orang.
Kemenangan Obama dalam Pilpres AS biasanya dijadikan sebagai rujukan betapa ampuhnya situs jejaring sosial dalam menggalang dukungan. Betul bahwa Obama memanfaatkan situs jejaring sosial secara intensif guna meraih dukungan, tetapi jangan dilupakan bahwa pada saat yang bersamaan, bahkan jauh sebelumnya, ia pun melakukan kerja-kerja nyata seperti kerja sosial dan mengorganisasi komunitas di awal karier, lobi, optimalisasi peran sebagai senator, menawarkan gagasan alternatif, dan sebagainya.
Jadi, kombinasi antara kerja di dunia maya dan dunia nyata itulah yang mengantarkannya menjadi Presiden AS. Jika diperhatikan, tak sedikit pengguna situs jejaring sosial yang menghabiskan waktu (dan mungkin juga dana) secara tidak produktif. Tanpa disadari, untuk sesuatu yang remeh-temeh ("mi gorengnya nggak enak", "kuku gw kepotong kependekan", "wah, payah nih dosen, ngajarnya bikin ngantuk", dan sebagainya) aktivitas dalam situs jejaring sosial menggerogoti waktu produktif.
Tak ada yang dihasilkan, selain kenyamanan semu bahwa segalanya tak ada masalah. Padahal, dalam kehidupan nyata, banyak persoalan penting yang akan memengaruhi bukan saja kehidupan sosial, melainkan juga kehidupan pribadi kita seperti angka pengangguran yang tinggi, ancaman banjir, pemberantasan korupsi yang makin payah. Semua itu adalah persoalan nyata, di dunia nyata, yang harus dihadapi dengan cara yang nyata pula, bukan dengan bersembunyi dalam kehidupan dunia maya.
Betapapun canggih dan menarik, situs jejaring sosial hanyalah alat. Ia layaknya pisau yang bisa digunakan untuk memudahkan kerja ketika memotong daging atau untuk membunuh. Ke mana ia akan bergerak, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran, kitalah yang mempunyai kekuasaan untuk menggunakannya, bukan malah sebaliknya kehidupan kita dikendalikan oleh situs jejaring sosial. Karenanya, situs jejaring sosial mesti dimanfaatkan secara bijak.
Jadi, jika melalui situs jejaring sosial pertemanan meluas, silaturahmi terbangun kembali, bisa mengumpulkan bantuan untuk korban bencana alam, tak ada salahnya menggunakan aneka situs jejaring sosial. Namun, jika ia mulai mengasingkan kita dari kehidupan nyata, menipu diri sendiri, sumber konflik, menggerogoti waktu produktif, inilah saatnya untuk men-deaktivasi-kannya, lalu kembali ke dunia nyata.
Jika tidak, tak ada manfaat yang bakal diperoleh dari aktivitas dalam situs jejaring sosial kecuali keuntungan semu bahwa semuanya baik-baik saja. Pada titik ini, kita cuma membuat pemilik situs jejaring sosial tambah kaya dengan menjadikan hubungan-hubungan sosial kita semata-mata sebagai komoditas.(*)
Andi Rahman Alamsyah
Staf Pengajar Departemen Sosiologi
FISIP UI (jri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar